Kembalinya Dokter ‘Masa Lalu Kami’

15 Sep

Dokter Koesno Martoatmodjo, itu nama dokter spesialis anak di Kemayoran yang bukan main larisnya di era saya dan adik adik masih kecil sekitar akhir tujuh puluhan hingga pertengahan sembilan puluhan dulu. Saban pilek, panas atau ‘ngak ngek ngok’ sedikit, ibu pasti bergegas membawa kami ke sana.

Tempat prakteknya lapang, di ujung jalan ke arah pasar Bendungan Jago, di sebuah rumah besar berwarna coklat, berpohonkan mangga dan berhalaman lapang. Oops… oh ya, dokter Koesno kala itu berperawakan tinggi besar dengan kulit gelap. Pakai kacamata atau tidak ya? hmm…saya lupa!

Entah kenapa, hari ini, 15 September 2009, yang berarti hampir dua dasawarsa kemudian, saya beserta ibu dan dua orang adik saya kembali ke tempat prakteknya. Yah, memang bukan tempat yang sama seperti dulu. Sekarang Dr Koesno praktek di sebuah ruko sederhana , masih di dekat pasar yang sama.

*

Ini tentu bukan dalam rangka memeriksakan diri kami-empat orang dewasa-ini yang sekarang notabene sudah ‘basi dan ubanan’, tapi untuk memeriksakan keponakan saya yang pertama (dan utama? I pray for Kiky…), sang bayi berusia 24 hari bernama Edgar Rizky Indra Tanaya.

Adik Kiky , begitu Edgar biasa dipanggil sudah sejak kemarin bersin bersin, rewel terus dengan nafas agak berbunyi seperti ngorok. Seharian kamarin sejak pagi hingga menjelang Maghrib, memang Kiky tidur pulas ditunggui ibu saya. Tapi kok sore selepas ibu pulang ke ke Kemayoran, ia gelisah tak bisa ditenangkan. Ibunya, adik saya, sampai capek bolak balik menyusui dan memberinya empeng sementara budenya yang lain, bude Andri, dan sayapun beberapa kali menggendong Kiky sambil mengoceh, mendongeng atau bergumam pelan agar si bayi tenang.

*

Sampai lepas buka puasa, Kiky terus ngak ngek ngok dan puncaknya ia sempat gumoh dari hidung. Pasti kekenyangan anak ini, gumam ibunya. Iya sih, tadi sore sehabis dimandikan ba’da Ashar, Kiky disuapi mbah bubur biskuit bayi. Meski heran mengapa kok bayi tiga minggu lapar terus, ibu mencoba memberinya biskuit itu dan ternyata Kiky doyan, tuh.

Setelah sempat tenang sebentar, Kiky tampak kegerahan. Wah, apa lagi ini, pikir saya. Tak lama, ternyata ia memuntahkan hampir semua bubur yang tadi ditelannya. Pascagumoh Kiky tertegun menatap plafon. Now what, kata saya dalam hati. Setiap ia mulai ngek, sebotol susu dan empeng siap disodorkan ke mulut mungilnya.

Tunggu punya tunggu, hingga pukul 20.30, ia tak juga tenang dan kami juga mulai capek. Apalagi saya kan masih harus pulang ke Penggilingan. Duh, awalnya memang Kiky akan dipijat oleh dukun bayi langganan tapi ternyata yang bersangkutan ndak bisa karena cucunya sakit. Ya udah, apa boleh buat.

*

Bingunglah kami dan akhirnya diputuskan untuk membawa Kiky ke RS Evasari Pasar Genjing, Pramuka. saya menggendong Kiky sambil menunggu taksi Blue Bird. Sampai di sana, karena memang sudah jam 9, dokter yang ada cuma dokter jaga. Kata resepsionisnya sambil mengobrol dengan rekannya dan kelihatan tanpa hati, “Kalau mau ya bawa saja si bayi ke ruang gawat darurat. Ada dokter di sana,.” Wah, batinku, sebal. Wong gak pa pa kok harus dibawa ke UGD. “Ntar malah diogrok ogrok gak karuan,” desis saya.

Akhirnya kami membawa Kiky keluar dari lobby rumah sakit itu dan kembali ke taksi seraya meminta Pak Supir untuk ke RS Alvernia Agusta di sebelah Arion, Rawamangun. Saya memang tidak ikut mengantarnya karena harus menjemput ibu ke Kemayoran, untuk kemudian membawa ibu lagi ke tempat Kiky. Saya turun di depan LIA Pramuka dan mencegat bajaj menuju arah Mesjid Akbar, Kemayoran. Karena saat ini bulan Ramadhan, ibu memang sering bolak balik Kemayoran-Penggilingan. Shalat terawih di Kemayoran dan bila tak terlalu capek, pulang seorang diri naik angkot ke Penggilingan.

Wah, ternyata di rumah sakit bersalin atau rumah sakit ibu dan anakpun tidak ada dokter anak yang berjaga. Saya sedikit kecewa mengingat yang ada cuma dokter umum. Akhirnya, malam itu, sebatas untuk membuatnya bisa tidur dan tak terlalu rewel, Kiky kami bawa ke klinik, yang sebenarnya saya agak kurang sreg. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Tadi saya telpon RS Bunda Aliyah di Pondok Bambu juga disebutkan kalau yang namanya dokter jaga itu pasti dokter umum! hhmmff… Begitu ya! Saya yang baru tahu atau ini cermin ala kadarnya layanan rumah sakit di sini? Nobody knows…Atau mungkin saya saja yang kelewat skeptis!

*

Sampai rumah Kiky, saya sempat menggendongnya sebentar sebelum ganti ibu membopongnya. Ia menangis sekeras kerasnya dan ibupun akhirnya menyedot ingus di hidung Kiky dan membaluri kepala Kiky dengan mamahan/kunyahan bawang merah: Ini kearifan tradisional khas Jawa yang sekarang tinggal puing puingnya, saya simpulkan. Hampir jam 23 dan kelewat lelah, saya pulang naik angkot dengan harapan keponakan saya bisa tidur nyenyak bersama mbah dan ibunya.

Pagi ini, singkat cerita sampailah kami di tempat praktek Dr Koesno di Kemayoran. Well, ia memang kelihatan sudah sepuh dan agak kurus meski tetap lincah dan familiar dengan pasien anak anaknya. Setelah menunggu beberapa saat dan sejurus kemudian memeriksa Kiky dengan stateskopnya, ia menyimpulkan, ini bahasa saya: Ada sedikit masalah struktural di seputar daerah THT anak ini Sedikit masalah dengan thymus-nya. “Tapi ini gak pa pa, kok, nanti baik sendiri kalau sudah setahun umurnya,” katanya. Kalau tidak ada keluhan panas atau muntah, tidak ada yang perlu dikuatirkan, paparnya lagi, sambil meminta adik saya untuk menidurkan Kiky dengan kondisi agak miring di tempat tidur setelah ini agar mampet di hidungnya hilang.

Well, that would be great… Setelah menuliskan resep dan memberikan sedikit keterangan dan instruksi kepada adik saya, kamipun keluar dari ruang prakteknya.Yang saya kagum dan ini barang langka saya rasa, ia mau repot repot menerangkan cukup detil masalah THT Kiky. “Ini begini lho, dan sebaiknya begitu. Kalau dia nanti begini, maka…bla bla bla,” katanya sambil membuat sketsa fisiologis hidung, mulut dan tenggorokan di kertas, menerangkan letak titik masalah THT Kiky.

Well done, dok, batin saya. Di tengah maraknya layanan kesehatan berembel embel internasional atau apalah yang serba bikin keder dan menguras kantong, saya bahagia karena keponakan bayi saya, tentu juga ibunya, masih memilih berobat ke dokter dari ‘masa lalu’ kami, yang prakteknya di dekat pasar tradisional dan di pinggir kali, pula!.

Hanya delapan puluh ribu saja biaya periksa dan seratus ribu untuk obat; itu tergolong murah sekarang ini. Coba kalau ke rumah sakit yang itu atau sana, duh, cuma buang buang uang rasanya. Periksa 150 ribu, administrasi sekian, tindakan sekian, total sekian. Belum lagi nanti obat sekian plus sekian… Ahh…Memang saya akui, tidak ada barang gratis atau murah, apalagi untuk yang namanya kesehatan. Tapi paling tidak buat saya, Dr Koesno adalah fenomena besar yang layak dinikmati dan disyukuri oleh keluarga kami, terlebih lagi di bulan Ramadhan ini!

I’m glad to say: Welcome back, doc!

2 Tanggapan to “Kembalinya Dokter ‘Masa Lalu Kami’”

  1. Sandy Prasetya 16 Maret 2010 pada 9:13 am #

    Halo mbak 😀

    Saya juga ‘alumni’ Dr. Koesno semasa kecil… sampai saat ini masih nyari sih alamat yang baru.. tolong kasi tau mbak, dari pasar kemayoran sudah dekat tidak? Apabila ada alamatnya tolong dikasi tau 😀

    Makasi ya mbak,
    Sandy

    • zerolimitslife 16 Maret 2010 pada 10:12 am #

      Halo juga mas Sandy. Pak dokter masih praktek di ruko persis sebelum pasar Bendungan Jago, teleponnya 021-424 9410, 021-426 7116. Prakteknya tiap hari kerja, sore dari jam lima ke atas dan sabtu juga buka tapi pagi aja, dari jam 9 sampai jam 12. semoga membantu ya. salam…

Tinggalkan komentar